|
sourcepict: m.inmagine.com |
Pada suatu petang seorang tua bersama anak mudanya yang baru
menamatkan pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil
memperhatikan suasana disekitar mereka. Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap
di ranting pokok berhampiran. Si ayah lalu menuding jari ke arah gagak sambil
bertanya,
“Nak, apakah benda itu?”
“Burung gagak”, jawab si anak.
Si ayah mengangguk-angguk, namun sejurus kemudian sekali lagi
mengulangi pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar
jawabannya tadi, lalu menjawab dengan sedikit kuat,
“Itu burung gagak, Ayah!”
Tetapi sejurus kemudian si ayah bertanya lagi pertanyaan yang
sama. Si anak merasa agak keliru dan sedikit bingung dengan pertanyaan yang
sama diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih kuat,
“BURUNG GAGAK!!” Si ayah terdiam seketika.
Namun tidak lama kemudian sekali lagi sang ayah mengajukan
pertanyaan yang serupa hingga membuat si anak hilang kesabaran dan menjawab
dengan nada yang kesal kepada si ayah,
“Itu gagak, Ayah.”
Tetapi agak mengejutkan si anak, karena si ayah sekali lagi membuka
mulut hanya untuk bertanya hal yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar
hilang sabar dan menjadi marah.
“Ayah!!! Saya tak tahu Ayah paham atau tidak. Tapi sudah 5 kali
Ayah bertanya soal hal tersebut dan saya sudah juga memberikan jawabannya. Apa
lagi yang Ayah mau saya katakan???? Itu burung gagak, burung gagak, Ayah…..”,
kata si anak dengan nada yang begitu marah.
Si ayah lalu bangun menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak
yang kebingungan. Sesaat kemudian si ayah keluar lagi dengan sesuatu di
tangannya. Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih geram dan
bertanya-tanya. Diperlihatkannya sebuah diary lama.
“Coba kau baca apa yang pernah Ayah tulis di dalam diary ini,”
pinta si Ayah.
Si anak setuju dan membaca paragraf yang berikut.
Hari ini aku
di halaman melayani anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor
gagak hinggap di pohon berhampiran. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan bertanya,
“Ayah, apa
itu?”
Dan aku
menjawab,
“Burung
gagak.”
Walau
bagaimana pun, anakku terus bertanya soal yang serupa dan setiap kali aku
menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga 25 kali anakku bertanya demikian,
dan demi rasa cinta dan sayangku, aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan
ingin tahunya. Aku berharap hal ini menjadi suatu pendidikan yang berharga
untuk anakku kelak.
Setelah selesai membaca paragraf tersebut si anak mengangkat muka
memandang wajah si Ayah yang kelihatan sayu. Si Ayah dengan perlahan bersuara,
“Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu soal yang sama sebanyak 5
kali, dan kau telah hilang kesabaran serta marah.”
Lalu si anak seketika itu juga menangis dan bersimpuh di kedua
kaki ayahnya memohon ampun atas apa yang telah ia perbuat.*
*source: PercikanIman.org via eBook Kisah Penuh Hikmah